Mekanisme kontrol fisiologi
.
II. JALUR-JALUR FISIOLOGI
Reseptor tertentu memberikan informasi kepada sistem saraf pusat (SSP) tentang
keadaan lingkungan di sekitar organisme. Setiap reseptor dikhususkan
untuk mendeteksi stimulus tertentu (misalnya raba, suhu, nyeri, dll). Reseptor-reseptor pada kulit dan pada jaringan lainnya yang menangkap sensasi nyeri adalah free nerve ending (ujung saraf bebas) sedangkan reseptor untuk stimulus suhu bisa free nerve ending, badan Krouse atau badan Ruffini.
Reseptor-reseptor tersebar dengan kepadatan yang berbeda-beda pada
berbagai jaringan. Reseptor nyeri dapat dirangsang oleh stimulasi mekanik, suhu panas, atau oleh zat kimia yang mengiritasi. Reseptor nyeri tertentu hanya dapat mendeteksi satu stimulus, tetapi sebagian besar reseptor nyeri dapat terangsang
oleh dua atau lebih stimulus. Ketika reseptor nyeri pada jaringan
perifer dirangsang (misalnya pada kulit) maka impuls nosiseptif (nyeri) dihantarkan ke SSP oleh dua tipe neuron yang berbeda yaitu serabut saraf A-delta dan serabut saraf C. Serabut A-delta berdiameter besar, bermielin dan hantarannya cepat, yang
menghantarkan nyeri “pertama” yaitu rangsang benda tajam, tusukan dan
trauma/cedera/luka. Serabut C diameternya kecil, tidak bermielin dan
hantarannya lambat, yang bertanggungjawab untuk hantaran nyeri “kedua”
yaitu tumpul, sakit dan nyeri visera. Neuron
sensoris aferen primer kemudian masuk je medulla spinalis dan bersinap
pada neuron-neuron di kornu dorsalis. Neuron-neuron tingkat kedua yang berasal dari kornu dorsalis mempunyai akson panjang yang menyilang kommissura
anterior dan berjalan ke atas pada jalur anterolateral kontralateral
(dan disebut traktus spinotalamik). Beberapa dari akson-akson
panjang yang bersinap dengan neuron tipe C tidak menyilang tetapi
berjalan ke kranial melalui jalur spinal anterolateral ipsilateral.
Serabut-serabut jalur spinal anterolateral berakhir di talamus, dimana pada talamus ini keluar proyeksi ke pusat-pusat SSP lainnya dan ke korteks sensoris. Pusat-pusat yang lebih tinggi ini bertanggungjawab untuk persepsi nyeri serta komponen emosional yang menyertainya.
Terdapat
empat proses pada jalur sensoris, yaitu transduksi, transmisi,
modulasi, dan persepsi (perhatikan gambar 1). Masing-masing proses
tersebut merupakan sasaran dari terapi analgetik. Oleh karena itu fisiologinya akan dijelaskan secara terinci berikut ini.
1. Transduksi
Nosiseptor,
yaitu reseptor-reseptor nyeri memberikan respon yang selektif terhadap
stimulus nyeri dan mengubah energi kimia, mekanik, dan energi termal
pada tempat perangsangan menjadi impuls saraf, dimana proses ini disebut
transduksi. (perhatikan gambar 2). Nosiseptor aferen primer adalah
cabang-cabang terminal (ujung-ujung)) serabut A-delta
dan serabut C yang badan sel sarafnya terletak pada ganglion radiks
dorsal. Mendel telah membuat klasifikasi fungsi serabut saraf
nosiseptor. Neuron-neuron dengan lingkup dinamika luas (neuron WDR)
adalah neuron-neuron yang menerima input dari rangsang nyeri dan
rangsang non-nyeri dan memberikan respon yang bertingkat (yaitu dapat
meningkatkan level eksitasinya ketika level rangsangan meningkat). Neuron-neuron ambang tinggi (neuron HT) yaitu neuron-neuron yang hanya teraktivasi oleh
stimulus nyeri (stimulus HT), dan neuron-neuron ambang rendah (neuron
LT) yang hanya teraktivasi oleh rangsang non-nyeri (stimulus LT).
Apabila
serabut A-delta dan serabu C diaktivasi dengan stimulus kuat yang
singkat yang hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan, maka nyeri
sementara yang terasa berperan sebagai peringatan fisiologis. Akan
tetapi apabila nosiseptor diaktivasi dengan stimuli nyeri akibat luka cedera
jaringan atau infeksi, maka terjadi respon cedera regional di perifer.
Zat-zat kimia dan enzim akan dilepaskan dari jaringan yang rusak;
meningkatkan transduksi stimuli nyeri. Prostanoid (prostaglandin,
leukotrin dan asam hidroksida) adalah produk jalur reaksi asam
arakidonat dan merupakan mediator-mediator utama hiperalgesia yang
menyertai peradangan. Prostaglandin (PG) dan leukotrin menyebabkan
sensitisasi reseptor perifer, menurunkan ambang rangsangnya, dan
meningkatkan respon terhadap stimuli. Kinin,
misalnya bradikinin dan kailidin lainnya mempunyai banyak fungsi
pro-inflamasi, seperti pelepasan PG, sitokinin, dan radikal-radikal
bebas dari berbagai sel; degranulasi sel mast dan
pelepasan histamin; dan stimulasi neuron simpatis untuk mengubah
kaliber/ukuran pembuluh darah. Kinin juga berkontribusi pada
ekstravasasi plasma dengan cara menimbulkan kontraksi sel endotel
pembuluh darah. Bradikinin dan PG terutama PGE2 merangsang neuron secara langsung, memulai hantaran
impuls nyeri di sepanjang jalur nosiseptif. Dilatasi pembuluh darah
perifer dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah disebabkan oleh
pelepasan substansi P akibat refleks akson saraf yang cedera. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah tersebut yang diikuti oleh pelepasan mediator-mediator vasoaktif dari sel mast akan menimbulkan peradangan (udem neurogenik). Peningkatan permeabilitas pembuluh darah juga mengakibatkan ekstravasasi zat-zat algogenik (zat yang menimbulkan nyeri) misalnya histamin dan serotonin. Histamin juga dapat dilepaskan dari sel mast ketika
mengalami degranulasi, dimana degranulasi sel mast dipicu oleh
substansi P, kinin, interleukin 1 dan nerve growth factor (NGF).
Histamin bekerja pada neuron sensoris untuk menghasilkan nyeri dan rasa
gatal. Stimulasi neuron sensoris oleh histamin dapat
menyebabkan pelepasan neuropeptida dan PG yang kemudian akan semakin
memperberat peradangan dan hiperalgesia. Serotonin (5-HT) adalah mediator inflamasi utama khususnya pada fase awal respon inflamasi. Setelah dilepaskan dari sel mast dan platelet pada saat terjadi cedera/luka atau peradangan, 4 HT akan mengaktivasi langsung neuron sensoris melalui aktivasi reseptor 5 HT tipe 3 (5=HT3). Impuls nosiseptif yang mengaktivasi sistem saraf simpatis akan memicu pelepasan norepinefrin yang
kemudian pada gilirannya akan meningkatkan aktivasi nosiseptor sehingga
menciptakan lingkaran setan. Spesies oksigen reaktif (SOR) seperti
misalnya hidrogen peroksida, spesies superoksida, dan spesies hidroksil
dihasilkan oleh jaringan selama peradangan. Zat-zat ini juga terbukti
dapat meningkatkan efek bradikinin, PGE2 dan mediator inflamasi, serupa dengan sinergi zat–zat algogenik lainnya seperti PG, bradikinin dan 5-HT .
GAMBAR 1. Gambar diagram empat proses yang terlibat dalam jalur-jalur sensoris yaitu: transduksi, transmisi, persepsi dan modulasi. Neuron-neuron afferen primer menghantarkan informasi dari perifer ke kornu dorsal medulla spinal. Informasi
afferen kemudian dihantarkan melalui traktus spinotalamik oleh
neuron-neuron tingkat dua ke talamus dan ke korteks sensorik.
Serabut-serabut inhibitoris desenden (garis terputus-putus) memodulasi input afferen pada kornu dorsal. Juga terlihat obat-obatan yang bisa memodifikasi input sensoris pada keempat proses tersebut.
GAMBAR 2. Skema proses transduksi dan proses pelepasan mediator-mediator inflamasi yang mengakibatkan sensitisasi nosiseptor di perifer.
GAMBAR 3. Skema
proses transmisi oleh serabut-serabut afferen primer (serabut A delta
dan serabut C) dari perfer ke kornu dorsal medulla spinal. Keseimbangan antara pelepasan neurotransmitter eksitatoris dengan neurotransmitter inhibitoris akan menentukan intensitas informasi afferen dan keadaan sensitisasi yang terjadi setelah cedera perifer.
Secara singkat, aktivitas dan sensitivitas neuron sensoris akan diubah oleh mediator-mediator yang dilepaskan akibat cedera atau luka jaringan dan peradangan. (Perhatikan Gambar 2). Mediator-mediator inflamasi tersebut akan meningkatkan sensitivitas atau kepekaan nosiseptor, udem neurorogenik dan hiperalgesia jaringan di sekitar cedera atau luka. Perubahan yang kompleks pada pemprosesan signal perifer ini akan mengakibatkan peningkatan sensasi nyeri, perubahan kualitas dan durasi nyeri, dan akan mengakibatkan perubahan pemprosesan nyeri sentral sehingga terjadi keadaan nyeri kronik.
2. Transmisi di kornu dorsal
Ketika
transduksi signal sudah terjadi maka impuls dihantarkan melalui serabut
A-delta dan serabut C kornu dorsal medulla spinal (Perhatikan Gambar
3). Serabut saraf tersebut bersinap pada lapisan superfisial lamina Reksa: sinaps serabut A-delta pada lamina I, II dan V; sinaps serabut C pada
lamina I dan II. Batas lamina-lamina tersebut tidak jelas. Selain itu
juga terdapat banyak overlapping tipe sel neuon antara lamina sehingga
setiap lamina mengandung lebih dari satu tipe neuron. Berbagai
neurotransmitter dilepaskan oleh neuron co-nosiseptif tingkat satu
diantaranya adalah substansi P yaitu suatu neurokinin yang dilepaskan
oleh serabut-serabut HT. Peptida gen kalsitonin (GRT) juga dilepaskan
bersama-sama dengan substansi P dan akan memperluas zona pelepasan
substansi P pada medulla spinal yang berkontribusi terhadap peningkatan
eksitabilitas. Kemudian substansi P memicu
pelepasan asam amino eksitatoris misalnya aspartat dan glutamat yang
bekerja pada reseptor AMP (2–amino-3-hidroksi-5-metil-isoksazol
propionat) dan reseptor-reseptor NMDA (N- metil-D-aspartat). Peningkatan
transmisi sinap yang disebabkan oleh asam amino eksitatoris setelah
pelepasan substansi P akan memicu peningkatan yang terus menerus
pelepasan glutamat atau NMDA oleh neuron kornu dorsal. Peningkatan
depolarisasi ini akan menyebabkan peningkatan pelepasan neurokin ke
dalam postsinaptik yang akan memicu perubahan yang persisten pada
eksitabilitas sel. Istilah “wind-up” telah
digunakan untuk menjelaskan peningkatan eksitabilitas dan sensitisasi
sel-sel kornu dorsal yang dipicu oleh mekanisme tersebut di atas.
(Perhatikan Gambar 3). Selain menyebabkan “wind-up,”
stimulasi nyeri berulang pada kornu dorsal dapat mengakibatkan
peningkatan jumlah neuron pada lamina I dan lamina II yang mempunyai
inti yang mengekspresikan protein C-fos yaitu sebuah protein yang diduga
terlibat pada ingatan tentang nyeri. Pemberian morfin sebelumnya akan
mengurangi jumlah sel-sel yang mengekspresikan C-fos. Ini menunjukkan bahwa dengan mencegah jalan masuk signal-signal pemicu ke sistem saraf pusat dapat mengatenuasi atau mengurangi
peningkatan sensitifitas terhadap stimuli nyeri dan mengurangi
hiperalgesia dan produksi nyeri oleh stimuli non-nyeri (yaitu allodinia)
yang menyertai cedera/luka jaringan.
3. Persepsi
Serabut afferen nosiseptik tingkat dua mempunyai badan sel yang terletak di dalam kornu dorsal medulla spinal yang
memproyeksikan akson ke pusat-pusat di SSP yang bertanggung-jawab untuk
pengolahan informasi nosiseptik. Seperti dijelaskan sebelumnya,
sebagian besar serabut-serabut asenden akan menyilang di dalam traktus
spinotalamik sebelum berjalan ke kranial. Sebagian besar neuron yang
terdapat pada traktus spinotalamik adalah neuron-neuron WDR atau
neuron-neuron HT yang akan berjalan melalui pons, medulla oblongata dan
otak tengah untuk berakhir pada area tertentu di talamus. Dari talamus,
informasi aferen akan di bawa ke korteks somatosensoris. Trakrus
spinotalamik juga mengirim cabang-cabang kolateral ke formasio
retikularis. Impuls yang dihantarkan melalui traktus ini
bertanggungjawab untuk diskriminasi atau pembedaan sensasi
nyeri dan respon-respon emosional yang menyertainya. Formasio
retikularis kemungkinan bertanggung-jawab untuk peningkatan bangkitan atau depolarisasi
dan peningkatan aspek komponen emosional-afektif pada nyeri serta
peningkatan refleks motorik somatik dan refleks motorik otonom. Aktivasi
struktur supraspinal diperantarai oleh asam amino eksitatoris tetapi
neurotransmiter yang terlibat pada pengolahan informai nosiseptif di
sentral belum diketahui dengan jelas.
Terapi analgetik konvensional ditujukan pada komponen persepsi nyeri pada jalur-jalur analgesi. Area tertentu, misalnya nukleus giganto-selularis retikularis yaitu
suatu nukleus tempat neuron-neuron tingkat dua nosiseptif berakhir akan
tertekan oleh anastesi umum dan analgesi opioid. Terlepas dari fakta
ini, terapi konvensional dengan opioid keberhasilannya bervariasi karena
kurangnya spesifisitas ikatan opioid parenteral dan opioid oral. Dengan
semakin meniungkatnya pemahaman tentang jalur-jalur nyeri dan
proses-proses yang terlibat di dalamnya, sekarang telah diketahui bahwa
cara yang paling baik untuk mengatasi nyeri adalah dengan menggunakan
beberapa obat analgetik di mana setiap obat akan bekerja pada lokasi
spesifik di sepanjang jalur-jalur nyeri. Pendekatan seperti ini akan
mengurangi pemilihan obat tunggal sehingga efek sinergi obat-obat
kombinasi dapat mengurangi efek samping yang dapat ditumbulkan oleh obat analgetik tunggal dosis tinggi.
4. Jalur-jalur efferen dan modulasi nyeri
Pada
awal abad kedua puluh, Sherrington menekankan pentingnya interaksi
antara sistem eksitatoris dan sistem inhibitoris saraf pada pengolahan
informasi sensoris yang masuk oleh otak. Sekarang ini diketahui bahwa
jalur-jalur efferen membantu untuk memodifikasi informasi nosiseptik afferen. Jalur saraf efferen yang terlibat dalam modulasi nyeri adalah: traktus kortikospinal yang berasal dari korteks motorik dan bersinap pada lamina Reksa III-IV; efferen hipotalamik yang muncul dari hipotalamus dan
bersinap pada otak tengah, pons, medulla oblongata dan lamina Reksa I;
serabut-serabut efferen yang luas yang berasal dari substansi grisea periakueduktal di otak tengah dan nukleus raphe magnus di medulla yang menuju ke kornu dorsal. Stimulasi eferen ini (serabut desenden) dapat
memodulasi hantaran nosiseptik di perifer, di medulla spinal dengan
mengubah pelepasan neurotransmiter, atau di supraspinal dengan
mengaktivasi jalur-jalur inhibitoris (perhatikan Gambar 1). Telah diketahui bahwa norepiefrin, serotonin dan opiat-like substance (endorfin) terlibat dalam jalur-jalur inhibitoris batang ortak yang memodulasi nyeri pada medulla spinal.
Gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin adalah dua neurotransmitter yang terpenting bekerja pada kornu dorsal Blokade GABA atau glisin medulla spinal akan mengakibatkan allodinia
dengan membuang inhibitor yang mengontrol reseptor NMDA. Oleh karena
itu kegagalan inhibisi spinal berperan penting dalam etiologi nyeri
nuropati. Selain itu, apabila terdapat peradangan perifer maka akan
terlihat efek yang sebaliknya: Up-regulasi (peningkatan) reseptor GABA
spinal akan memicu penghambatan impuls nosiseptik afferen dan menurunkan sensasi.rasa nyeri. Oleh karena itu sensitivitas reseptor GABA spinal dapat bervariasi pada keadaan yang berbeda-beda, sehingga menyebabkan modulasi informasi nosiseptik.
Neurotransmiter lainnya yaitu somatostatin ditemukan dalam sel-sel ganglion radiks dorsal dan pada terminal atau ujung
aferen kornu dorsal medulla spinal. Tampaknya neurotransmiter ini
dilepaskan sebagai respon terhadap stimuli nyeri, yaitu mengakibatkan
hiperpolarisasi dan penurunan level eksitasi neuron kornu dorsal. Akan
tetapi walaupun tampaknya mempunyai sifat-sifat analgetik yang
bermanfaat, pemberian somatostatin intratekal juga
dapat mengakibatkan kelemahan motorik dan paralisis pada dosis yang
melebihi dosis analgetik. Oleh karena itu diperlukan studi berikutnya
untuk mengevaluasi peran peptida ini sebagai antinosiseptik.
Galanin banyak ditemukan pada serabut-serabut afferen nosiseptik primer dan diduga sebagai peptida inhibitor. Seringkali galanin berlokasi bersama-sama dengan substansi P dan CGRP. Akan tetapi sebelum dapat dibuat antagonisnya maka peran pasti galanin pada transmisi nosiseptik sulit untuk dipastikan.
III. Mekanisme hipersensitivitas
Transmisi
nyeri dari jaringan perifer melalui medulla spinal ke otak bukan proses
yang sederhana dengan jalur khususnya masing-masing, tetapi tegantung
pada keseimbangan antara sistem saraf eksitatoris denga sistem inhibitoris.
Cedera/luka
jaringan perifer dapat memodifikasi respons sistem saraf pada dua
lokasi yaitu; sensitisasi perifer yang akan mengakibatkan penurunan
ambang rangsang ujung aferen perifer nosiseptik,
dan sensitisasi sentral yaitu peningkatam eksitabilitas neuron spinal.
Setiap proses ini berkontribusi terhadap keadaan hipersensitifitas pasca
trauma yang terjadi setelah operasi. Keadaan ini bermanifestasi sebagai
peningkatan respon terhadap stimuli nyeri dan penurunan ambang nyeri.
Sekarang telah terbukti bahwa medan reseptor sel-sel kornu dorsal tidak
tetap, dan dapat mengalami sejumlah perubahan. Perubahan ini meliputi
perubahan ukuran dan lokasi reseptor perifer (komponen spatial), perubahan sensitifitas terhadap stimuli yang berbeda (komponen ambang), perubahan selektifitas reseptor terhadap stimuli mekanik, stimuli termal atau stimuli kimia (Komponen sensitivitas modalitas), atau
perubahan aktifitas reseptor terhadap timing stimulus (komponen
temporal). Hiperalgesia primer berarti perubahan medan reseptor dalam
area cedera sedangkan hiperalgesi sekunder berarti perubahan jaringan
yang tidak rusak di sekitar jaringan yang rusak. Selain itu terdapat
perubahan yang bertanggung-jawab untuk mispersepsi (kesalahan persepsi) nyeri sebagai respon terhadap stimuli non-nyeri (yaitu
allodinia). Hiperalgesi primer terjadi karena sensitisasi nosiseptor
perifer sedangkan hiperalgesi sekunder disebabkan oleh perubahan
pengolahan input nosiseptor oleh SSP yang berasal dari jaringan perifer.
Nyeri klinik bisa dibagi atas dua karakter yaitru: nyeri
inflamasi/radang akibat trauma jaringan perifer (misalnya akibat insisi
bedah, disseksi/pemotongan, luka bakar dll), dan nyeri neuropati yang
disebabkan oleh cedera langsung pada jaringan saraf (misalnya transeksi atau pemotongan
saraf). Kedua jenis cedera ini akan mengakibatkan perubahan jangka
panjang pada sensitifitas sistem saraf, sehingga intensitas stimuli
berikutnya yang diperlukan untuk menimbulkan nyeri berkurang.
IV. Modalitas sifat-sifat farmakologi
Analgesi
pre-emptif adalah terapi antinosiseptif yang ditujukan untuk mencegah
sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral sehingga mengatenuasi atau mengurangi (idealnya mencegah) amplifikasi atau peningkatan
rasa nyeri postoperatif. Pengobatan dapat ditujukan pada lokasi
perifer, pada input-input di sepanjang akson sensoris, atau pada sistem
saraf pusat dengan menggunakan analgetik tunggal atau analgetik
kombinasi yang diberikan baik secara kontinyu maupun secara intermitten.
V. Anestesi regional
Blok afferen semua impuls khususnya impuls nosiseptik sebelum dilakukan insisi bedah penting pada konsep analgesia
pre-emptif. Ini dapat diperoleh melalui infiltrasi lokal untuk prosedur
superfisial, anestesi saraf perifer atau anestesi pleksus, atau blok
neuraksial sentral. Yang penting adalah fakta bahwa analgesi yang
efektif bukan hanya diberikan sebelum insisi
bedah tetapi harus diteruskan sampai ke periode postoperasi. Waktu
pemberhentian pemberian obat anestetik lokal harus dinilai berdasarkan
penyembuhan luka atau derajat tendernes yang diharapkan. Penghentian
blok regional ketika input aferen masih ada akan memperlambat atau
menunda onset nyeri bedah sampai setelah efek farmakologi anestetik
lokal berkurang. Pada pasien-pasien degan sensitisasi sentral yang telah ada sebelumnya, maka
dilakukan blok regional agar dapat bekerja lebih lama untuk memperoleh
level input nosipseptik yang lebih rendah. Seringkali anestesi regional
dikombinasi dengan terapi adjuvan pada periode pasca bedah.
VI. Obat-obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID/AINS)
Sensitisasi
perifer yaitu terjadinya peningkatan sensititivitas neuron-neuron
sensoris perifer HT disebabkan oleh pajanan/paparan ujung-ujung saraf
sensoris oleh zat-zat algogenik dan mediator-mediator yang dilepaskan secara lokal pada lokasi cedera. Tujuan
dari pengobatan adalah untuk mencegah pelepasan (atau untuk
menginaktifkan) berbagai neurotransmitter dan mediator-mediator
inflamasi, yang mensensitisasi nosiseptor perifer. Dengan mengurangi
sintesis prostaglandin atau PG, maka inhibitor-inhibitor siklooksigenase
akan menghambat respon pelepasan mediator-mediator inflamasi endogen,
dengan efek yang lebih besar pada jaringan yang telah mengalami cedera atau
trauma. NSAID mempunyai sifat-sifat kimia yang berbeda-beda tetapi
mekanisme kerjanya adalah penghambatan sensitisasi nosiseptor yang
diperantarai oleh PG oleh iritan-iritan kimia dan iritan-iritan mekanik. Selain
itu stabilisasi membran oleh NSAID dapat menyebabkan penurunan
pelepasan prostaglandin pada konsentrasi yang cukup untuk penghambatan
yang efektif terhadap siklooksigenase.
Glkuokortikoid, antidepresan trisiklik, anti aritmia dan anestetik lokal
berkerja dengan mekanisme yang serupa, dimana semua ini juga mempunyui efek stabilisasi membran (mempunyai sifat MSA atau Membrane-Stabilizing
Activity). Jaringan saraf sentral juga mensintesis prostaglandin dan
NSAID yang diberikan secara spinal menunjukkan pengurangan hiperalgesia.
Sejauh mana kerja NSAID di sentral yang berkontribusi terhadap efek
analgesik ketika diberikan NSAID sistemik belum diketahui. Tampakya
selain efeknya pada sintesis prostaglandin, NSAID tertentu juga
mempengarushi aktivitas zat-zat neuroaktif lainnya misalnya 5-HT, asam kinurenik dan poliamin yang diduga berperan penting dalam pengolahan input nosiseptor di kornu dorsal.
VII. Opioid
Pada
medulla spinalis, modulasi input aferen dapat dilakukan melalui
penurunan pelepasan neurotransmitter, penghambatan reseptor postsinaptik (karena memblok efek neurotransmiter), atau dengan mengaktifkan jalur-jalur inhibitoris. Reseptor opioid adalah lokasi utama produksi efek analgesi dan
studi-studi dewasa ini menunjukkan bahwa opioid spinal dapat dikurangi
atau ditingkatkan pada berbagai keadaan. Lamina I dan substansi
gelatinosa pada kornu dorsal yaitu Zona dimana serabut-serabut C berakhir, mempunyai konsentrasi reseptor opioid yang tertinggi pada medulla spinal. Sekitar 70% dari seluruh reseptor opioid pada medulla spinal adalah reseptor subtipe mu, sekitar 24 % adalah reseptor delta dan sekitar 6% adalah reseptor tipe kappa. Reseptor-reseptor
ini pada manusia belum pernah diteliti tetapi studi biologi molekuler
memperlihatkan kesamaan reseptor opioid pada manusia dengan reseptor
opioid pada binatang coba di laboratorium. Sebagian
besar reseptor mu pada medulla spinal ditemukan di presinaptik pada
terminal nosiseptik afferen. Opioid yang bersifat agonis mu atau agonis
delta menyebabkan penurunan pelepasan neurotransmitter afferen primer dari
serabut C (substansi P dan glutamat). Opioid juga menghambat pelepasan
CGRP. Tingginya konsentrasi reseptor opioid pada presinatik serabut C
yang berkebalikan dengan konsentrasi reseptor
opioid pada ujung seerabut A delta mengakibatkan efek selektif opioid
spinal ketika muncul impuls nyeri. Lapisan medulla spinal yang lebih
dalam mengandung relatif lebih sedikit reseptor opioid. Reseptor opioid
yang ada diduga berlokasi pada sirkuit nosiseptif.
Apabila distimulasi maka reseptor opioid presinaptik ini mengalami
hiperpolarisasi membran neuron kornu dorsal sehingga mengurangi
aktivitas pada jalur-jalur nosiseptik. Penelitian terhadap agonis
reseptor opioid delta terutama menyelidiki potensinya sebagai analgetik
dengan efek samping yang sedikit, tidak seperti efek samping yang
ditimbulkan oleh morfin (efek samping morfin cukup berat). Akan tetapi
pengalaman dengan agonis reseptor kappa sampai sekarang ini masih
mengecewakan.
Injeksi supraspinal agonis mu dan agonis delta akan menghasilkan
analgesi yang sensitif terhadap nalokson walaupun mekanisme tepatnya
bagaimana aktivasi reseptor mu secara supraspinal masih belum diketahui.
Peran pasti dari reseptor kappa untuk memproduksi analgesi supraspinal,
masih menjadi subjek perbedaan pendapat, dengan banyaknya pendapat yang
bertentangan dalam literatur-literatur.
Opioid
juga bekerja di perifer sebagai analgetik Agonis reseptor mu dapat
mencegah sensitisasi nosiseptor yang dapat dipicu oleh mediator-mediator
inflamasi misalnya prostaglandin E2 (PGE2). Reseptor delta dan reseptor
kappa diduga berlokasi pada saraf simpatis yang memperantarai analgesi
perifer dengan cara menghambat pelepasan zat-zat
yang mensensitisasi nosiseptor yang dirangsang oleh bradikinin pada
nerve ending (ujug dsaraf). Oleh karena itu opioid bekerja di supra
spinal, di spinal dan di perifer untuk menghasilkan efek analgesi
sehingga dapat mengurangi sensitisasi sentral dan sensitisasi perifer.
VIII. Antagonis Reseptor NMDA
Terdapat
banyak reseptor NMDA pada medulla spinal manusia sehingga kondisi yang
diperlukan untuk stimulasi cukup kompleks yang hanya dapat diperoleh
melalui aktivasi serabut C berulang-ulang. Apabila
stimulus serabut C dipertahankan atau frekuensenya dan intensitasnya
cukup, maka reseptor NMDA akan teraktivasi dan hasilnya adalah
amplifikasi atau peningkatan atau perpanjangan respon. Hal inilah yang mendasari
mekanisme hiperalgesia sentral. Nyeri radang yang berkepanjangan, tidak
seperti dengan nyeri akut, sensitif terhadap antagonis NMDA. Karena
reseptor NMDA telah digunakan (dijadikan sasaran terapi) dalam
penanganan nyeri patologis kronik, maka antagonis NMDA misalnya ketamin
atau dekstrometorfan telah digunakan untuk mengobati nyeri neuropati
yang sensitif terhadap opioid dan nyeri kanker. Antagonis NMDA tidak
mempunyai efek pada input afferen pada kornu dorsal tetapi dapat menghilangkan fenomena “wind-up” sehingga dapat mengubah respon nosiseptik yang berlebihan
menjadi respon yang normal. Opioid dan antagonis NMDA dapat digunakan
secara sinergis dan kombinasinya menunjukkan respon inhibisi nosiseptif
yang cukup nyata. Ketamin adalah antagonis NMDA pada dosis subanestetik oleh karena itu mempunyai kemampuan untuk mencegah hipersensitivitas sentral pada dosis yang tidak menimbulkan efek analgetik secara langsung. Anastetik lokal yang diberikan secara spinal juga bekerja sinergis denga morfin dalam memodulasi nosiseptik dengan cara menghambat serabut afferen dan mengurangi eksitabilitas neuron sehingga mengurangi aktivitas yang diperantarai oleh NMDA.
IX. Anatagonis reseptor alfa 2
Analgesi
juga dapat dihasilkan melalui perangsangan reseptor adrenergik alfa 2
di medulla spinal dan pada pusat-pusat yang lebih tinggi.
Reseptor-reseptor ini dapat diaktivasi oleh jalur–jalur noradrenergik
desenden atau oleh senyawa-senyawa eksogen misalnya epinefrin, klonidin
atau deksmedetomidin. Studi-studi menunjukkan bahwa agonis alfa 2
mempunyai respon analgetik yang poten, dan potensinya dapat ditingkatkan
dengan pemberian bersama opioid. Agonis alfa 2
dan opioid mempunyai kerja analgetik pada reseptor tersendiri. Toleransi
silang bisa terjadi antara kedua kelompok obat tersebut. Agonis alfa 2
juga terbukti dapat mengurangi efek fisiologis dan psikologis dari
penghentian penggunaan opioid (opioid withdrawal). Mekanisme pasti
bagaimana agonis alfa 2 menghasilkan analgesi masih belum diketahui,
walaupun diduga bahwa pelepasan asetilkolin turut berperan dalam hal ini.
X. Obat-obat lainnya
Berbagai obat lainnya menunjukkan sifat-sifat analgetik dan dapat digunakan untuk menghasilkan analgesi pre-emptif baik secara tunggal atau dalam bentuk kombinasi.
Kolesistokinin
(CCK) secara selektif dapat mengurangi efek analgetik morfin pada
lokasi spinal dan supraspinal. Tampaknya CCK bekerja sebagai kontrol
endogen pada level analgesi mu. Up regulasi (peningkatan)
reseptor-reseptornya akan mengakibatkan berkurangnya efek analgesi pada
beberapa model nyeri neuropati, dan jika konsentrasi CCK diturunkan maka inflamasi akan mengakibatkan peningkatan efek pada reseptor mu. Oleh karena itu antagonis reseptore CCK dapat meningkatkan efek analgetik opioid.
Telah
dibuktikan bahwa aktivasi reseptor NMDA akan mengakibatkan pembentukan
nitrat oksida (NO). Penghambatan enzim yang bertanggung-jawab untuk
sintesis NO bersifat antinosiseptif dan memberikan harapan dimasa mendatang untuk penanganan nyeri. Akan tetapi masih perlu ditentukan apakah reseptor GABA dapat dijadikan sasaran terapi analgetik pada masa yang akan datang.
Pemberian antagonis bradikinin, antagonis histamin dan antagoinis serotonin dapat digunakan untuk
mencegah atau mengurangi terjadinya udem neurogenik akibat sensitisasi
reseptor. Akan tetapi mekanisme aktivitas saraf perifer yang menyebabkan
hiperalgesia masih belum
dimengerti sepenuhnya. Peran dari mediator -mediator yang baru ditemukan
dan mediator-mediator perifer yang bekerja lebih lama misalnya nerve
growth factor (NGF), sitokin dan katekolamin yang dihasilkan oleh ujung saraf simpatis serta bradikinin, serotonin, dan prostanoid masih menunggu penelitian.
Sehubungan dengan hal tersebut, perhatian difokuskan pada sistem saraf pusat untuk mencari alternatif proses-proses yang dapat dimodifikasi secara farmakologi digabung
dengan sifat-sifat kerja di perifer untuk mengoptimalkan analgesi.
Monoamin re-uptake inhibitor dapat meningkatkan efek antinosiseptik yang
ditimbulkan oleh opioid sistemik. Pemberian kolinesterase intratekal
misalnya neostigmin dapat menghasilkan efek analgesi
poten dan dapat secara sinergis meningkatkan efek antinosiseptik morfin
dan klonidin. Asetilkolinesterase tampaknya mempunyai aksi analgetik
karena aksi muskariniknya, yang
berlawanan dengan aksi nikotinik (agonis muskuranik, tetapi bukan
agonis nikotinik), berfungsi sebagai analgetik jika diinjeksikan
intratekal. Amitriptilin, antidepresan trisiklik, dapat meningkatkan efek antinosiseptik opioid sistemik dan neostigmin intratekal. Zat –zat pembuka kanal kalium misalnya minoksidil juga terbukti menghasilkan antinosiseptik jika diberikan intratekal. Pemberian analog adenosin intratekal menghasilkan efek antinosiseptik.
Efek ini dapat dihambat dengan pemberian penghambat reseptor adenosin,
misalnya metilxantin. Apa peran obat-obat ini dalam mengatas nyeri masih
memerlukan uji klinik dan kemungkinan akan menjadi fokus utama penelitian pada bidang ini.
Langganan:
Postingan (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar